Header Ads

test

Breaking News

Ali bin Abi Thalib: Teladan Keberanian

analisaterkini.com/

MASJIDU~ Suatu ketika, Ali Bin Abi Thalib kecil terbaring di lantai masjid tanpa baju dan alas. Tubuhnya berlumur tanah. Mengetahui hal ini, Nabi SAW memanggilnya Abu Thurab.

 Di masa kecil, nama  Ali adalah Haidarah, yang berarti singa. Seperti nama kakek dari ibunya, Asad, juga berarti singa. Namun dikemudian hari, ia lebih masyhur dipanggil dengan Ali, yang berarti luhur. Nama yang memang sesuai dengan karakternya. Kecerdasannya diakui oleh siapapun, bahkan Nabi SAW tidak pernah meragukan.

 Ali adalah anak terakhir dari hasil pernikahan Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf dengan Fatimah binti asad bin Hasyim bin Abdu Manaf. Dari pasangan ini, lahir empat anak, yang tertua Talib, kemudian Aqil, menyusul Ja’far, kemudian  pada hari Jum’at 13 Rajab, 23 tahun sebelum hijrah, lahir yang paling busngsu, Ali. 

 Ali kecil adalah anak malang. Tetapi pribadinya istimewa. Masa kecilnya tercerabut dari kegermerlapan dunia anak. Saat anak-anak lain bermain dan berhura-hura, ia hidup dalam kezuhudan dan nilai-nilai spiritual.

 Sejak usia 6 tahun, ia tinggal seatap bersama Muhammad. Hampir semua kegiatan sehari-harinya ia lakukan bersama Muhammad sampai menjadi Rasul.

 "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya," kenang Ali tidak lama setelah Rasulullah wafat.

 Suatu ketika, tiba-tiba Ali menyeruak masuk ke kediaman Muahmmad. Di dalam rumah itu ia  terheran-heran menyaksikan gerakan Nabi SAW dan Khadijah yang sedang rukuk, sujud, serta membaca beberapa ayat Qur’an.

 “Kepada siapa kalian bersujud?” tanyanya setelah Nabi selesai Shalat.

 “Kami sujud kepada Allah”, jawab Muhammad.

 “Yang mengutusku menjadi Nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah Allah.”

 Ali yang berusia 10 tahun itu diajak sepupunya untuk beribadah kepada Allah semata, tiada sekutu baginya. Ia diajak untuk menerima agama yang dibawa utusan-Nya dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Latta dan Uzza. Lalu, Muhammad membacakan beberapa ayat Qur’an. Ali pun sangat terpesona, karena ayat-ayat itu dirasakan sangat luar biasa.

 Tidak semua bocah seumuran Ali mampu merasakan pesona sastra ayat Qur’an. Apalagi, pada saat itu banyak orang menentang saat Muhmmad membacakan ayat Qur’an. Mereka bahkan menuduh Qur’an itu buatan Muhammad belaka. Namun, Ali lain. Dia mampu menangkap kebenaran tersebut dengan jeli. Hatinya luluh oleh sebuah ajakan lembut Muhammad.

 Namun bocah itu sadar bahwa kepercayaan bukanlah masalah sepele, apalagi menyangkut kepercayaan nenek moyangnya, sehingga membutuhkan dialog. Jika ia memeluk kepercayaan yang berbeda dengan nenek moyangnya, berarti telah menempeleng berhala yang selama ini diagungkan suku dan masyarakatnya.

 Ia minta waktu akan berunding dengan ayahnya terlebih dahulu. semalam ia lalui dengan resah. Merenungi bacaan Muhammad. Mungkinkah kegelisahan itu muncul di hati bocah yang tidak cerdas?

 Esoknya, Ali memberitahukan kepada Nabi yang masih ditentang oleh masyarakat itu bahwa ia akan mengikuti agama yang dibawanya. Tidak perlu minta pendapat sang ayah. Ali akan mengikuti jejak Nabi, entah ia tahu atau tidak, aral melintang menghadang langkahnya bersama Nabi suatu hari nanti. Itulah pertama kali rohaninya terbuka. Rohani lembut seorang bocah yang telah mampu merasakan kebenaran.

 Ali memeluk Islam. Bocah pertama yang mengakui adanya Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya. Bukan atas ajakan atau saran seseorang. Bukan pula paksaan, melainkan atas kesadarannya sendiri.

 Meski masih kecil, Ali sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Ia sudah bisa mencium aroma hidayah yang sebenarnya, sudah mampu merengkuh kebenaran, serta sudah mampu merelakan dirinya untuk tunduk kepada syari’at yang di bawa Nabi baru yang diragukan dan ditentang sukunya sendiri. Di saat masyarakat meragukan kebenaran ajaran Muhammad SAW. Ali justru hadir dengan keyakinan penuh, ia masuk Islam tanpa berdialog dengan siapapun, bahkan tidak dengan kedua orang tuanya. 

 Baginya, Muhammad SAW adalah cahaya terang dalam hidupnya. Ali tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya selega ia bercurah hati kepada Rasulullah. Apalagi saat menyaksikan detik-detik akhir hayat ayahnya yang tetap tak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah.

 Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Karena itulah, ia bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini lagi. Jika kelak dirinya mati, anak-anaknya tak boleh lagi menangisi dirinya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib.

 Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah. Saat pertama kali ayahnya memergoki dirinya shalat berjamaah bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya.

 "Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan," kata ayahnya.

 Mengenang masa kanak-kanaknya, Ali mengisahkan, “Aku senantiasa mengikuti Rasulullah saw bak seorang anak unta yang masih menyusu selalu menyertai ibunya. Setiap hari Rasulullah saw selalu menyempurnakan perangaiku dan memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun aku selalu menyaksikan beliau pergi ke goa Hira’, sementara tidak seorang pun mengetahui kepergian beliau. Ketika itu, tidak ada satu rumahpun yang menyatukan seorangpun di dalam Islam selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga adalah aku sendiri. Kusaksikan cahaya wahyu dan risalah ilahi. Di sana kucium semerbak kenabian dari rumah kudus itu.”

 Keberanian Ali sudah terlihat sejak dini. Di usia 23 tahun, ia membuktikan dedikasi dan keberaniannya. Saat itu, masa hijrah. Ali bersepakat dengan Rasulullah dalam melancarkan perjalanan Nabi ke Yastrib.

 Ali memakai kain Rasulullah yang biasa dipakainya. Kemudian direbahkan tubuhnya di pembaringan Nabi. Dengan penuh ketenangan dan keberanian, Ali gembira dapat mewakili Nabi, sehingga dengan perbuatannya ini Nabi selamat. Pada saat itu, para pemuda Quraisy mendatangi rumah Nabi dengan segenap kebencian yang memenuhi diri mereka dan dengan pedang terhunus siap menebas leher Ali yang disangka Nabi. Perlahan-lahan mereka mulai mengepung rumah Nabi.

 Mereka memperhatikan pintu yang terbuka yang biasa dilewati Nabi secara seksama dan tempat tidur beliau. Mereka menemukan sesosok tubuh yang terbaring di sana. Melihat itu, mereka yakin bahwa Nabi ada dan sedang tidur. Hal itu menambah keyakinan bahwa rencana yang telah disiapkan hampir pasti berhasil. Ketika sepertiga terakhir malam tiba, Nabi keluar dari rumah. Sebelumnya beliau bersembunyi di sebuah tempat di dalam rumah. Nabi keluar menuju gua Tsur. Ia menyembunyikan dirinya di sana untuk sementara waktu, kemudian melanjutkan perjalanannya yang dikenal dengan hijrah Nabi.

 Waktu yang ditentukan telah tiba. Para pemuda Quraisy serentak menyergap rumah Nabi. Yang berada paling depan adalah Khalid bin Walid. Pada saat yang bersamaan, Ali melompat dari tempat tidurnya langsung menyambar pedangnya. Ia berhadap-hadapan dengan mereka. Para pemuda Quraisy merasa ketakutan di hadapan Ali. Serentak juga mereka berlari keluar rumah. Mereka menanyainya tentang Muhammad. Ali menjawab: "Aku tidak tahu ke mana dia pergi".

 Sikap Ali bin Abi Thalib patut dicontoh, penuh keberanian dan cara yang unik memberikan sebuah teladan bagaimana seseorang harus melakukan pengorbanan. Para revolusioner mendapat sebuah teladan bagaimana harus berbuat demi melakukan perubahan dalam masalah akidah dan jihad. Yang menjadi tujuan Ali hanya satu; kerelaan Allah atasnya dan keselamatan Nabi serta tersebarnya dakwah Islam. Sebuah ayat turun terkait dengan pengorbanan Ali. Allah berfirman: "Dan dari sebagian manusia ada yang menjual dirinya karena mengharapkan ridha Allah. Dan Allah Maha Penyayang hamba-Nya".

No comments