Header Ads

test

Breaking News

Ali Musthafa Ya'qub: Peringatan Maulid Bukan Bid'ah

 



“Kalau saya sampaikan bahwa di balik gunung ini ada unta, apakah kalian percaya?” tanya seorang lelaki dalam pidatonya di tengah kerumunan massa. Massa itu serentak menjawab, “Kami percaya!” Lalu, orang tersebut bertanya kembali, “Mengapa?” Mereka pun menjawab, “Sebab selama hidup, kami tidak pernah melihatmu berbohong!”

 

Sekitar empat puluh tahun sebelum peristiwa itu, serombongan pasukan pengendara gajah dari negeri Yaman dipimpin oleh Raja Abrahah hendak menghacurkan Ka’bah. Sebuah tempat ziarah keagamaan yang paling ramai kunjungi orang dari berbagai negeri. Namun pasukan itu hancur oleh wabah yang dibawah oleh burung Ababil sebelum menyentuh sasaran. Peristiwa ini diabadikan dalam sejarah dengan sebutan “Tahun Gajah”.

Selain sebagai pusat ziarah keagamaan, Ka’bah yang berada di kota Makkah ini juga dikenal sebagai pusat kebodohan bangsa Arab di kemudian hari. Mereka membuat patung-patung di sekeliling gedung tua yang dibangun oleh Nabi Ibrahim itu untuk disembah. Setidaknya, tidak kurang dari 350 berhala yang berada di tempat suci itu. Ada Latta, ‘Uzza, Manat, dan lain-lain sebagai tuhan agama nenek moyang mereka.

“Inilah kemerosotan moral bangsa Arab setelah sekian lama ditinggalkan oleh para Nabi. Padahal, di masa Nabi-nabi, bangsa ini adalah bangsa yang bermoral tinggi dan akhlaknya bagus. Inilah era jahiliyah, era kebodohan bangsa Arab. Jahiliyah bukan dalam pengertian teknologi, ekonomi,dan sebagainya, tetapi lebih berkonotasi kemesorotan moral,” Kata Prof. Dr. K.H. Ali Musthafa Ya’kub, M.A. kepada Tabloid Masjid Nusantara Kamis (11/3) siang, di Kantor MUI.

Pada saat itulah, lanjut Ali Musthafa, Rasulullah SAW dilahirkan dalam rangka Allah memberi kenikmatan bagi umat manusia, untuk memberikan penerangan-penerangan jalan yang benar menuju Allah. Kelahiran Nabi Muhammad ini merupakan rahmat, dari yang tidak tahu tentang sorga dan neraka menjadi tahu. Kita menjadi tahu tentang Allah, tahu tentang berhala, tahu tentang Tuhan yang paling benar, dan tahu Tuhan yang harus kita sembah, serta menjadikan kita penyembah Allah dengan cara yang benar.

“Bagi peradaban manusia, beliau adalah pembebas manusia dari cara berpikir yang tidak rasional menjadi rasional. Bagaimana tidak rasional, patung yang disembah itu hasil bikinan manusia sendiri. Dengan menghilangkan itu (patung), kita menyembah kepada Allah, Zat yang membikin semua ini. Jadi rasionallah kita,” lanjut Pimpinan Pondok Pesantren Luhur Darus Sunnah Ciputat, Tangerang ini.

Pada dasarnya kaum kafir dari Suku Quraisy pada saat itu bisa menerima ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW ini. Akan tetapi, lanjut Guru Besar ilmu Hadits Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta ini, yang dipertentangkan pada saat itu adalah karena Nabi akan memindahkan umat agama nenek moyang mereka menjadi Islam. Hal itulah yang menjadi masalah, sebab mereka tidak mau meninggalkan agama nenek moyangnya.

Muhammad merupakan sosok yang sangat terhormat di negeri itu. Beliau adalah keturunan dari suku yang paling disegani, Suku Quraisy. Secara sosiologis, suku ini adalah suku yang paling kuat dan paling dihormati oleh bangsa Arab di masa itu. Meski Rasulullah sendiri berasal dari suku Quraisy, tetapi beliau juga dilecehkan oleh orang-orang Quraisy sendiri.

“Coba bayangkan, kalau Rasulullah diambil dari suku yang paling rendah, tentu tidak akan laku. Suku-suku yang elit akan mencampakkan saja orang tersebut. Hal ini berarti, pemimpin itu harus berasal dari kelompok terkuat. Kalau tidak, dia akan cepat goyah. Pemimpin yang tidak diambil dari kelompok yang kuat akan cepat runtuh. Akan tetapi, kalau dia datang dari kelompok yang kuat, dukungannya juga akan kuat,” ungkap pakar ilmu hadist ini

Sebelumnya, Muhammad muda terbukti sebagai orang yang terpercaya di kalangan bangsa Arab ini. Pada saat pengangkatan dan peletakan Hajar Aswad pada tempatnya di Ka’bah yang telah diperbaiki dari kerusakan akibat banjir terjadi perselisihan. Akhirnya, saat Nabi Muhammad SAW dipilih, mereka berseru, “Itu dia al-Amin! orang yang terpercaya. Kami rela menerima semua keputusannya.”

Selain itu, lanjutnya, orang-orang di sekitar beliau mengakui bahwa beliau adalah orang yang tidak pernah berbohong. Setidaknya selama 40 tahun, semenjak dilahirkan hingga diangkat menjadi seorang Nabi, beliau tidak pernah diketahui melakukan kebohongan. Hal ini dibuktikan dalam kisah saat pertama kali beliau berpidato pertama kalinya sebagai Nabi di hadapan masyarakat suku Quraisy.

“Baru setelah Nabi berbicara tentang adanya neraka, sorga, dan sebagainya mereka ribut. Itu artinya, modal awal beliau adalah orang yang tidak pernah berbohong, yang amin, dapat dipercaya. Modal pemimpin itu adalah amanah itu, ” terang lulusan Universitas King Saud ini.

 

Peringatan Maulid Nabi

 

Memang, tidak ada dalil (hadits) yang menerangkan tentang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, ketika ditanya kenapa beliau berpuasa pada hari Senin? Beliau mengatakan, “Pada hari itulah saya dilahirkan”. Hal itulah berarti Nabi mensyukuri hari kelahirannya. Namun, peringatan yang dilaksanakan oleh Nabi sifatnya setiap minggu, bukan setiap tahun.

Menurut lulusan Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Arab Saudi ini, di dalam Islam terdapat tiga kategori, yaitu Aqidah, Ibadah, dan Muamalah. Muamalah pada dasarnya diperbolehkan, asal tidak ada dalil yang melarangnya. Maulid merupakan perkara yang masuk kategori muamalah, tetapi acaranya diisi dengan ibadah, seperti, membaca al-Qur’an, berdo’a, membaca shalawat Nabi, dan memberikan penerangan tentang perjuangan Nabi.

Untuk itu, lanjutnya, kalau memperingati maulid ini dengan kemaksiatan, hukumnya haram. Banyak ulama yang mengatakan, “Kalau isinya bagus, silahkan, kalau isinya maksiat, jangan dilakukan”. Jadi, tidak dilihat dari namanya, tetapi apa yang dilakukan. Sebab, kalau hanya melihat namanya, orang bisa salah. Misalnya, makanan bernama Hot Dog berarti Anjing Panas maka hukumnya menjadi haram. Begitu juga Rawon Setan atau Sambel Setan, kalau dilihat namanya juga bisa menjadi haram.

“Bid’ah adalah ibadah yang tidak ada dalilnya dalam agama. Misalnya, Shalat Subuh telah disebutkan dalilnya hanya dua rakaat, tetapi kalau seseorang melaksanakan Shalat Subuh sebanyak sepuluh rakaat berarti bid’ah, karena tidak ada dalil yang menjelaskan tentang hal itu. Sedangkan membaca al-Qur’an, membaca shalawat, penerangan agama, dan membaca do’a merupakan ibadah ada dalilnya dalam agama, sehingga peringatan Maulid Nabi yang diisi dengan kegiatan ini bukan termasuk bid’ah,” jelas lelaki yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI ini.

Dengan peringatan Maulid Nabi ini, lanjutnya, berarti umat Islam memperingati dirinya untuk menjadi makmum Nabi Muhammad yang baik. Mungkin sebagai makmum, umat Islam sudah melenceng, imamnya sudah sujud, umatnya masih berdiri.

“Jadi, bukan memperingati Nabi, tetapi memperingati diri kita sendiri, apakah kita sebagai makmum Nabi itu benar atau tidak,” tegas alumni Pondok Pesantren Seblak dan Tebuireng, Jombang ini. (SF)

No comments