Sujiwo Tejo Memaknai Tradisi
“Ketika persoalan pajak mencuat ke permukaan, makna yang muncul dalam benak saya, ada yang tidak benar dalam pengurusan pajak dan zakat di kalangan masyarakat,” jawab H. Sujiwo Tejo ketika ditanya tentang kondisi bangsa Indonesia saat ini.
Wong
takon/ Wong sing tur kang angkoro/ Antarane riko aku iki
Bagi Tejo, panggilan akrabnya, jika masyarakat Indonesia melaksanakan kewajiban zakat dan mengelola pajak dengan baik, sebagian besar persoalan bangsa ini bisa teratasi. Untuk itu, persoalan pajak tidak perlu diungkit-ungkit lagi, sebab kesejahteraan bangsa Indonesia, dengan demikian telah merata.
Pada waktu Sujiwo masih Situbondo, kenangnya, dia melihat bahwa hampir di depan setiap rumah penduduk terdapat gentong air. Air dalam gentong itu memang diperuntukkan siapa saja yang kehausan di tengah perjalanan. Mereka tidak memperdulikan, apakah air itu kotor atau diracun. Masyarakat telah saling mempercayai satu sama lain. Hal ini juga terjadi di sebagian besar wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Begitu juga ketika memahami konsep rumah Jawa. Tejo melihat bahwa dalam tradisi Jawa, arsitektur untuk ruang makan itu tidak ada. Furnitur (meja, kursi) untuk ruang makan juga praktis tidak berkembang. Karena orang Jawa lebih mementingkan pendopo. Dengan demikian, kalau orang ingin makan, seadanya. Tempatnya pun seadanya. Jika orang ingin makan enak, mereka undang tetangga dan fakir-miskin untuk makan bersama di pendopo itu.
“Kalau sekarang, ruang makan diperbagus. Hal ini menunjukkan terjadinya kemerosotan. Kalau bicara Pancasila, di sila ke-3 itu, Persatuan Indonesia,” ungkap seniman multitalenta ini.
Gentong dan pendopo di
depan rumah, lanjutnya, merupakan hidupnya nilai-nilai Pancasila di kalangan
masyarakat pada saat itu. Untuk itu, sekarang perlu uri-uri (hidup
kembangkan).
Sumebar ron ronane koro/ Janji sabar/ Sabar sak wetoro wektu
Menurut dalang kelahiran Jember, 31 Agustus 1962 ini, pada dasarnya lima urutan Pancasila itu hanya 1-3 saja yang menjadi dasar. Sedangkan urutan ke-4 adalah cara atau metode, dan urutan ke-lima adalah tujuan atau cita-cita.
Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut penganut kejawen ini, berarti Suwung. Artinya, seseorang boleh punya apa saja, tetapi semua itu tidak ada yang melekat, yang melekat hanyalah Tuhan. Jadi, jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk tujuan kemaslahatan kemanusiaan, harus diberikan.
“Nah, selama ini tafsir atas ketuhanan ini selalu dimensi vertikal. Kalau seseorang masih memiliki ‘kemelekatan’ berarti tuhannya banyak,” ungkap aktor film Kafir ini.
Selanjutnya, dasar untuk memberi adalah kemanusiaan. Seandainya di Haiti terjadi gempa, di Afrika terjadi kelaparan, sementara di sini masih banyak orang kurang gizi, tidak bisa sekolah, dan tidak bisa bayar hutang, siapa yang didahulukan? Untuk itu, dasar ketiga dari Pancasila adalah Persatuan Indonesia sebagai dasar kebangsaan. Sesama bangsa yang harus diutamakan.
Berpegang dengan tiga sila tersebut, sasaran yang ingin dicapai bangas ini adalah sila kelima. Sedangkan cara atau metode untuk mencapai tujuan ini menggunakan sila keempat. Menurut, Tejo, permusyawaratan ini seharusnya menggunakan prinsip musyawarah mufakat. Bukan voting, one man one vote. Sebab, cara voting ini sangat rentan terhadap masuknya kepentingan asing dalam kebijakan mencapai tujuan bangsa ini.
“Jadi, seandainya saya jadi presiden atau jabatan apapun, semua musyawarah mufakat akan saya tutup kalau agendanya bukan untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
Lantas, siapa yang berhak memimpin musyawarah mufakat ini? Pelukis jebolan ITB ini menjawab bahwa orang itu minimal memiliki dan memegang teguh tiga sila sebelumnya, yakni ketuhanan, kemanusiaan, dan kebangsaan. Kalau tidak, orang tersebut tidak boleh memimpin fit and propertest.
Pada dasarnya, lanjutnya, demokrasi mengasumsikan bahwa seluruh manusia sama. Padahal, menurut Tejo, tidak demikian. Agama mengajarkan bahwa manusia itu tergantung keimanan dan ketakwaannya. Ajaran Hindu ortodoks membagi manusia dalam kasta-kasta, ada Paria, Sudra, Waisa, Kesatria, dan Brahmana. Akan tetapi hal ini bukan dilihat dari aspek feodalisme, tapi melihat dari kesadaran dan keimanan.
Karakter orang Paria, lanjutnya, hanya memikirkan dirinya, orang Sudra hanya memikirkan keluarganya, orang Waisa memikirkan kelompok profesinya, orang Kesatria memikirkan negara, dan orang Brahmana memikirkan manusia, dunia. Sedangkan dalam demokrasi, orang Paria bisa menjadi DPR atau Menteri, sehingga yang dia pikirkan hanya dirinya sendiri. Menurut Tejo, untuk menjadi seorang menteri minimal kesatria.
“Makanya, di Hindu ortodoks, kalau ada seseorang
dari kasta Paria yang mencuri ayam, mungkin dia tidak akan dihukum. Tapi kalau
orang Brahmana mencuri ayam, bisa dihukum mati,” katanya.
Kala mangsane/ Titi kolo mongso
Sujiwo menyatakan bahwa penyebab tidak beroperasinya nilai-nilai Pancasila ini adalah kapitalisme global. Sebab kapitalisme global inilah yang menyebabkan para pemimpin negara-negara ketiga ini didikte oleh mereka, siapa yang akan jadi presiden, siapa yang akan jadi menteri, semuanya diintervensi. Akibatnya, rakyat tidak melihat keteladanan.
Rakyat selalu mempertanyakan, katanya Pancasila, tapi kenapa pemimpinnya seperti ini? Katanya Pancasila, tapi indomart bisa masuk ke kampung-kampung. Kenapa pasar tradisional tidak dihidupkan? Padahal, dalam teori perubahan sosial menunjukkan bahwa perubahan sosial itu 80 persen ditentukan oleh keteladanan pemimpin.
Kedua, ketika tidak ada pegangan, melalui media-media elektronik, internet dan televisi hadir di ruang keluarga dengan aneka macam tawaran barang-barang. Akibatnya nilai-nilai itu hancur. Orang-orang di partai ketika diiming-iming duit untuk mendukung ini-itu akan cepat berubah. Semua ini karena tingkat pendapatan dan tingkat pemacu “wants” (keinginan), bukan “needs” (kebutuhan), itu sangat banyak. Hampir setiap detik terjadi perubahan pemacu keinginan ini.
Pamudjiku ti biso/ Sinutra korban jiwanggo Pamungkase kang tur angkoro/ Titi kolo mongso
Untuk itu, penulis buku The Sax ini berpendapat, yang perlu ditekankan adalah budi pekerti, dengan cara menghormati orang tua dan para pendahulu. Adapun inti dari budi pekerti adalah kebahagian tertinggi. Dan kebahagiaan tertinggi adalah membahagiakan orang lain. Membahagiakan dan menyenangkan itu berbeda. Jika ingin menyenangkan orang, cukup dengan mengajak orang tersebut makan-miunm di restoran. Akan tetapi, kalau membahagiakan adalah memberi orang sampai bisa bangkit, sehingga dia bisa bilang, “Aku bisa!” Orang itu bisa percaya diri, lalu mandiri.
Untuk mempuk kepercayaan diri ini, menurut Tejo, salah satunya mengubah pelajaran sejarah bahwa kita tidak dijajah 350 tahun, tapi selama ratusan tahun itu bangsa kita berperang, berjuang, sehingga kita itu menjadi bangga sebagai bangsa. Sebab, waktu itu banyak sekali pemberontakan petani, pemberontakan pajak, pemboikotan ini-itu, dan lain-lain. Hal itu terus terjadi sepanjang sejarah. Hal ini hendaknya ditanamkan sejak TK.
“Coba bandingkan kalau dibilang, ‘Eh, kamu
itu dijajah terus selama 350 tahun,’ dengan, ‘Eh, selama 350 tahun
bangsamu itu berperang.’ Jelas lain dampaknya,” ungkap pengarang dan
pelantun lagu berbahasa Jawa yang berjudul Pada Suatu Ketika ini.
No comments