Header Ads

test

Breaking News

Zainal Arifin: Menjunjung Tinggi Kejujuran Hakim

MASJIDU~ Barangkali wajah keadilan di negeri ini tampak bopeng-bopeng dalam pandangan masyarakat. Banyak hakim menjual keadilan dengan segepok rupiah atau harta lainnya. Tapi jangan pernah berharap pada Zainal Arifin, S.H.. Sebab, pada saat menjadi hakim dia memegang teguh prinsip tidak akan menerima pemberian apapun di luar gaji.

 Hakim yang pernah merangkap sebagai sopir angkutan umum ini menentang tegas segala bentuk penyuapan. Bahkan, parcel yang kesasar di tempatnya pun dikembalikan lagi ke alamat pengirim.

 Bagi seorang hakim, kejujuran itu mutlak diperlukan. Jika kita tidak memegang prinsip kejujuran ini, sulit bagi seorang Hakim untuk menegakkan keadilan. Jika hakimnya jujur, masyarakat juga akan segan,” tegas Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisia (KY) pada suatu kesempatan.

 Menegakkan keadilan di Indonesia, menurutnya, tidaklah terlalu sulit. Sebab, putra-putra Indonesia sebenarnya banyak yang jujur dan idealismenya bagus. Asal mereka ditempatkan pada posisi strategis.

 Suatu perkara besar di pengadilan biasanya terkait dengan orang besar, resikonya besar, dan nilai suapnya pun besar. Untuk itu, pria kelahiran Bondowoso ini mengusulkan supaya para hakim yang jujur ini harus ditempatkan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya. Sebab, perkara besar biasanya terjadi di kota-kota besar juga.

 “Jika keran suap di pengadilan ini bisa dihentikan, insyaallah keadilan dapat ditegakkan. Secara nalar hal itu memang susah. Tapi yakinlah, saat anda mau atau berniat menolak uang suap, yakinlah bahwa anda telah dibayar oleh Allah, bahkan bayaran yang lebih dari uang tersebut,” ungkapnya ketika fit and propertest KY di DPR lima tahun yang lalu.

 Kejujurannya sebagai hakim benar-benar ia praktikkan di lapangan. Berkali-kali lulusan Fakultas Hukum universitas Airlangga ini berusaha disuap seseorang. Akan tetapi, orang yang ingin menyuap selalu gagal.

 Suatu ketika, ayah dari 10 anak ini ditugaskan menjadi hakim di Bukittinggi, dia menangani kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anak seorang wali kota.  Sebagai seorang hakim, dia harus bersikap tegas, tanpa pandang-pandang siapa yang sedang saya hadapi. Semua orang, semua warga negara kedudukannya sama dalam pandangan hukum. Saat menangani kasus ini, sang ibu dari anak tersebut berniat ke rumahnya dengan maksud mengajak “berunding”. Sesampainya di rumah, tiba-tiba ibu itu meninggalkan dirinya dan tidak jadi melanjutkan niatnya.

 Selain itu, prinsip yang dipegang teguh Zainal adalah bahwa dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan situasi dan kondisinya. Baginya, peraturan hanyalah aksesoris belaka, kerjenihan hati seorang hakim merupakkan inti keadilan hukum yang diputuskan. Sebaik apapun aturan yang ada, jika penegak hukumnya tidak memahami situasi dan kondisi, keadilan yang diharapkan akan susah ditegakkan.

 Persoalan ini juga pernah dihadapi oleh putra seorang camat ini. Pada waktu itu, ia mengadili perkara mutilasi di Pontianak. Menurutnya, yaang berkesan dalam perkara itu adalah karena yang melakukan pembunuhan itu adalah seorang waria. Karena sudah terbukti, awalnya saya ingin menjatuhkan hukuman mati. Akan tetapi, karena dia mengetahui bahwa rasa cemburu seorang waria itu sangat besar, ia pun memutuskan untuk menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada waria itu.

Perjalanan karirnya sebagai hakim dimulai sejak 1964 hingga 2003. Namun selama menjabat sebagai hakim, Zainal hidupnya senantiasa sederhana. Hidupnya sejak kecil terus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, karena mengikuti orang tuanya sebagai grilayawan pada masa penjajah dan sebagai pamong praja yang selalu pindah alamat. Begitu pula setelah menjadi hakim, dia selalu pindah dari satu kota ke kota yang lain.

 Meski hampir 40 tahun menjadi hakim, suami dari Rr. Siti Rochana ini baru mampu membeli sebuah rumah setelah ia pensiun di kota Surabaya. Karena kejujuran sebagainya hakim, pada tahun 2001 KPKN mengumumkan dirinya dalam sebuah berita harian sebagai salah satu pejabat negara termiskin di Jawa Timur. Namun, bia menganggap berita di koran itu biasa saja, karena begitulah kenyataan adanya.

 Menjadi seorang hakim bukanlah cita-citanya sejak kecil. Waktu itu, dia hanya membayangkan dirinya kelak besar ingin bisa beribadah sebanyak-banyaknya seperti neneknya. Oleh karena ayahnya kagum dengan seorang Mister Enterechten yang diketahui gajinya besar, ayahnya langsung memanggilnya, “Kamu jangan jadi Manteri Polisi, Camat, atau Pamong Praja. Kamu jadi Mister Enterechten saja,” kenangnya.

 Meskipun kenyataan yang dialaminya lain dengan yang dibayangkan, lelaki berdarah Madura ini tidak pantang surut. Meskipun banyak teror yang datang saat menangani perkara, kejujurannya tidak pernah terjual oleh harta. Padahal pada masa orde baru, dia pernah menangani perkara penyelundupan kayu cendana seorang pengusaha besar. Namun, dia tetap perpegang bahwa hukum tidak pandang bulu.

 Pada waktu menangani kasus ini, perusahaan kayu cendana yang dipimpin oleh terdakwa akan diresmikan oleh Soeharto. Karena bukti-buktinya sudah kuat, dia sempat menolak permohonan pembebasan sementara. Akan tetapi, setelah bernegosiasi panjang tahanan itu dibebaskan dengan catatan: “Tahanan hanya akan dikeluarkan saat Presiden Soeharto berkunjung saja”. Saat itu Pak Harto berkunjung pukul 09.00, dan pulang pukul 14.00. tahanan itu kita keluarkan jam 08.00, dan kita masukan lagi pukul 15.00.

 “Kalau ada orang yang jadi hakim supaya kaya, orang ini harus diperiksa. Untuk menjadi hakim, dasarnya harus pengabdian yang tinggi. Sebab, hakim menurut Islam artinya adalah orang yang bijaksana. Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang hakim mencedarai profesi ini dengan tindakan yang melanggar hukum dan etika hakim,” katanya.

 Sebagai pejabat negara, pria kelahiran 11 November 1940 ini selalu berusaha mendidik anak-anaknya agar mandiri dan tidak bergantung kepada fasilitas yang dimiliki orang tuannya. Ketika anak pertamanya lulus sarjana hukum, anaknya ingin menjadi hakim seperti dirinya.

 Meskipun pada saat itu ada yang namanya bina lingkungan hakim, tetapi dia tidak pernah memanfaatkan fasilitas ini untuk memasukkan anak atau keluarganya menjadi hakim. Dia tidak mau aji mumpung. Dibiarkannya anaknya mengikuti seleksi sebagaimana mestinya. Dan ternyata anaknya gagal di tahap seleksi cakim, dan kini dia bekerja sebagai pengacara di Surabaya.

 Lain halnya dengan putranya yang mendaftar menjadi pegawai KY, saat dirinya menjadi anggota KY. Tentu saja hal ini mengundang perhatian banyak orang di sekitarnya. Untuk itu, dia panggil anaknya tersebut, lalu ditanya apakah benar dia mendaftarkan diri sebagai pegawai KY. Setelah tahu, dia hanya menegaskan bahwa dirinya tidak mau turut campur urusan ini, karena justru dirinya sendiri adalah anggota komisioner.

 Keberadaan putranya yang menjadi pegawai KY saat dirinya menjabat sebagai salah komisioner membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Dan ternyata benar, salah satu temannya komplain pada dirinya, “Mas, kok anakmu bisa masuk (menjadi PNS KY)?” kemudian dia bilang, “Jangan tanya saya. Saya tidak mau tahu urusan dia. Saya tidak mau ikut campur”.

No comments